Membaca Arah Perkembangan dan Signifikasi Histori Maritim Indonesia

Pendidikan Sejarah Maritim menghendaki suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pendidikan sejarah intelektual. Artinya, Pendidikan Sejarah Maritim tidak hanya membahas fakta sejarah politik dan narasi sejarah politik. Pendidikan Sejarah Maritim perlu membahas aspek-aspek ilmu dan teknologi serta sistem perdagangan yang menjadi konstruksi dasar dalam narasi Sejarah Maritim. Konsep-konsep seperti kerajaan, sistem navigasi, perdagangan, teknologi perkapalan, teknologi makanan, pemasaran, komunikasi, pengetahuan pelayaran, dan kewirausahaan merupakan konsep penting dalam pemahaman suatu kerajaan maritim. Sikap menyenangi kelautan sebagai suatu sumber kehidupan yang tak terhingga perlu ditumbuhkembangkan untuk mengembangkan orientasi kehidupan maritim. Orientasi ini menyebabkan pendidikan Sejarah Maritim tidak saja merupakan perluasaan pengetahuan dari sejarah politik tetapi juga merupakan suatu materi pendidikan yang merupakan entity tersendiri. Permasalahan lain dari Pendidikan Sejarah Maritim adalah upaya untuk membuat pembelajaran Sejarah Maritim tidak terbatas pada wilayah pendidikan yang dekat atau pewaris kerajaan maritim. Pendidikan Sejarah Maritim harus menusantara dan ini merupakan karakteristik lain dari Pendidikan Sejarah Maritim. Siswa yang belajar sejarah politik dapat dikatakan bersifat tidak perlu dibedakan antara siswa yang tinggal di daerah pantai dan di daerah pedalaman yang agraris. Sebaliknya, Pendidikan Sejarah Maritim perlu memperhatikan perbedaan latar belakang siswa berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka karena yang tinggal dekat pantai memiliki visi yang berbeda tentang laut dibandingkan mereka yang di daerah pedalaman. Kenyataan seperti itu menyebabkan tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, proses pembelajaran dan penilaian hasil belajar Pendidikan Sejarah Maritim memiliki kekhasan. Makalah ini membahas aspek-aspek yang terkait dengan komponen pembelajaran yang bersifat khas sebagaimana dikemukakan di dua alinea terdahulu.

Bagi sebagian besar bangsa Indonesia laut dan berlayar bukan sesuatu yang baru. Teori kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia, baik bangsa Melanesoid dan Melayu, selalu dikaitkan dengan pelayaran. Perahu cadik yang masih digunakan nelayan di wilayah tertentu menjadi warisan yang sangat kental dengan pelayaran dan kehidupan laut. Kepulauan Indonesia merupakan panggung sejarah bagi sejumlah peristiwa sejarah, memberikan tantangan untuk membangun kehidupan laut. Hubungan antar pulau, perdagangan antar pulau menjadi warna kehidupan yang dominan. Bukan makanan yang diperdagangkan karena dua pola makanan utama yaitu beras dan sagu, baru berubah menjadi beras pada masa yang sangat dekat dengan kehidupan masa kini. Laut menyediakan ikan, makanan utama bagi sebagian masyarakat Indonesia dan pendamping utama bagi sebagian lain dimana nasi mau pun sagu. Ikan dan apa yang disediakan laut menjadi pendamping nasi dan sagu yang sangat disukai. Indonesia adalah negara dengan jumlah kepulauan terbanyak di dunia, sekitar 17,508 pulau dan yang terhuni 6.000 pulau. Oleh karena itu Indonesia dijuluki sebagai the biggest archipelago republic in the world. Posisi ini memberikan Indonesia menjadi negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Kenyataan historis ini menunjukkan bahwa Indonesia mengenal, mewarisi, dan hidup dari laut sehingga sampai saat ini, telah melahirkan komunitas nelayan dan pelaut-pelaut tangguh. Pelaut-pelaut dari Madura, Makassar/Bugis masih kuat mempertahankan kehidupan mereka sebagai pewaris pelaut besar sebagaimana wilayah lain yang juga memiliki kehidupan laut dan pelaut yang tangguh. Memang perlu disayangkan bahwa tradisi pelaut ini tidak merata diwariskan kepada banyak komunitas di Indonesia, dan yang kebanyakan menjadi pewaris sebagai nelayan. Memang angkatan laut Indonesia memiliki semboyan yang mencerminkan warisan kedigjayaan sebagai negara pelaut Jalesviva Jaya Mahe (di laut kita jaya) walaupun ALRI belum menjadi kekuatan yang diunggulkan. Sementara itu, adalah suatu kenyataan sejarah bahwa bangsa ini pernah memiliki kerajaankerajaan yang digjaya di laut. Contoh yang paling sering ditunjukkan adalah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit (PriamPrimbono, 2015d), selain kerajaan Tidore, Ternate, Aceh, Melayu, Demak, Cirebon, Banten, dan banyak lagi. Kerajaan-kerajaan ini merupakan kerajaan yang dikenal di negara-negara seperti Cina, India, bahkan sampai ke negara-negara di Eropa. Barang-barang dagang utama yang mereka perjual belikan berupa hasil tanaman, 3 dan lebih khusus lagi rempah-rempah. Rempah-rempah yang merupakan penyedap makanan berkenaan dengan langsung dengan salah satu kebutuhan primer manusia yaitu makan. Manusia dapat menahan diri untuk tidak memiliki benda-benda sekunder tetapi tidak mungkin tidak makan, dan rempah-rempah menjadi penyedap makanan. Oleh karena itu, walau pun Cina menjajakan hasil teknologi seperti guci, dan perlengkapan makanan, kedudukan rempah-rempah tak terkalahkan. Barang teknologi yang diperdagangkan Cina bukanlah suatu kebutuhan primer dan dapat digantikan oleh barang lain yang berfungsi sama, berbeda bahan dasar atau pun berbeda dalam kualitas tetapi memiliki fungsi yang sama. Rempah-rempah berbeda dengan barang teknologi tersebut, tidak ada barang yang dapat menggantikan rasa yang diberikan oleh rempah-rempah, sampai hari ini. Jika pada masa kemudian dengan teknologi kimia yang canggih sehingga ada perasa yang dihasilkan tetapi rasa alami rempah-rempah yang dihasilkan dari tanaman tidak sama dengan rasa yang diberikan produk kimia tersebut. Rempah-rempah tetap menjadi bagian penyedap makanan, kebutuhan utama manusia, yang tak tergantikan. Perdagangan rempah-rempah telah menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam kehidupan global ummat manusia. Rempah-rempah telah menyebabkan terjadinya perdagangan internasional dan keuntungan yang diberikan perdagangan telah menyebabkan terjadi persaingan kekuasaan. Bangsa-bangsa di negara yang tidak menghasilkan rempah-rempah mengembangkan kekuasaan untuk menguasai daerah lain yang menghasilkan rempah-rempah. Penguasaan laut dan jalan laut merupakan suatu keharusan mendatangi dan menguasai daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Negara-negara Eropa berkembang menjadi negara dengan kekuatan maritim yang canggih untuk mendatangi dan menguasai daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Pengertian mengenai laut dan dunia kemudian menyebabkan kekuatan maritim negara Eropa menjadi modal kuat untuk mendatangi dan menguasai daerah-daerah di luar Eropa walaupun bukan penghasil rempah-rempah. Kerajaan maritim di Indonesia memang tidak menawarkan produk teknologi seperti yang ditawarkan Cina. Rempah-rempah yang menjadi barang dagangan kerajaan maritim Indonesia justeru menjadi barang yang diperlukan di banyak negara karena langsung berkenaan dengan kebutuhan hidup yang paling utama. Orang dapat menahan diri untuk tidak memiliki barang-barang teknologi karena tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar untuk hidup yaitu makan. Ketika Marcopolo datang ke Cina bawaan yang paling berharga ke 4 Eropa yaitu mi yang kemudian menjadi spageti dan menambah variasi makanan orang Eropa yang sangat terbatas. Rempah-rempah Indonesia menjadikan makanan Eropa menjadi lebih enak karena memiliki rasa yang mengundang selera dan memberi kehangatan pada tubuh. Suatu hal yang tak dipungkiri kalau kemudian rempah-rempah Indonesia menjadi komoditas yang sangat berharga dan memberi keuntungan yang sangat besar. Indonesia, walau pun pada waktu itu nama Hindia lebih dikenal, menjadi penggerak sejarah dunia yang sangat dahsyat melalui rempah-rempah yang dimilikinya. Perjalanan Columbus adalah perjalanan untuk menemukan pulau/kepulauan Hindia yang kaya akan rempah. Perjanjian Thordesillas dan kemudian diperbaharui dengan Saragosa adalah suatu upaya bangsa Portugis dan Spanyol untuk mendapatkan rempah-rempah. Rempah-rempah adalah barang dagangan yang sangat menguntungkan dan sudah menjadi kebutuhan utama untuk mendapatkan makanan dengan rasa yang sangat spektakuler. Sejak awal rempah-rempah tersebut tidak dibawa bangsa Indonesia, kapal-kapal Indonesia ke Eropa, benua dimana matahari terbenam. Kapal-kapal Indonesia berdagang sampai ke India dan beberapa ke Parsia. Dari India dan Persia rempah-rempah tersebut terkumpul di pusat perdagangan Constantinopel. Para pedagang Eropa membeli rampah-rempah “Hindia” di pusat perdagangan Constantinopel. Ketika Constantinopel jatuh ke bangsa Turki pada tahun 1453, bangsa Eropa mengalami kesulitan dalam mendapatkan rempah-rempah. Bangsa Turki yang Islam dan semangat perang Sabil/Salib menimbulkan berbagai masalah dalam perdagangan. Kapal-kapal Indonesia juga berlayar inter-insuler dan laut lepas. Kapal-kapal Sriwijaya, Majapahit, Tidore, Ternate, Bugis memenuhi pelayaran inter-insuler laut-laut Indonesia. Tetapi juga kapal-kapal itu sampai ke Cina dan India, bahkan sebelum lahirnya kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Hindu-Buddha lainnya. Teori tentang arus balik masuknya pengaruh Hindu dan Buddha yang dikemukakan van Leur hanya mungkin terjadi karena adanya penguasa Indonesia yang memiliki armada laut yang membawa rempah-rempah ke India. Pada masa itu belum ada informasi bahwa rempah-rempah Indonesia sudah mencapai Eropa tetapi jelas sudah sampai Cina dan India tetapi berdasarkan studi Marbun (2014) pelayaran orang-orang Batak sudah sampai ke Amerika Tengah. Kejatuhan Constantinopel telah menjadi penyebab pelayaran bangsa Eropa ke “Hindia” daerah rempah-rempah di timur. Bangsa Spanyol dan Portuugis merupakan dua bangsa Eropa yang paling terkena dampak dalam perdagangan rempah-rempah akibat kejatihan 5 Constantionopel ke tangan bangsa Turki. Persaingan dalam keuntungan telah menyebabkan bangsa Eropa lain terutama Inggeris dan Belanda telah pula terlibat dalam upaya mendatangi dan berdagang langsung dengan “hindia”. Belanda dengan VOC keluar sebagai pemenang, Inggeris yang kalah terpaksa memusatkan kedudukannya di India dan Malaysia, daerah yang dekat dengan Indonesia setelah mengalahkan Portugis. Spanyol harus cukup puas menguasai Filipina. Sebagai pemenang, Belanda menjadi penguasa dan penjajah utama di kepulauan Indonesia. Kemampuan pelayaran bangsa Indonesia memang menurun ketika di bawah kekuasaan VOC dan Kolonial Belanda. Penguasaan laut di Indonesia adalah penguasa wilayah Indonesia dan oleh karena itu kekuasaan laut bangsa Indonesia harus dilumpuhkan. Perlawanan laut antara kekuasaan Indonesia dengan kekuasaan Hindia Belanda, memberi alasan yang kuat bagi pemerintahan kolonil Hindia Belanda untuk melemahkan kekuasaan bangsa Indonesia di wilayah laut. Upaya untuk melakukan control terhadap barang dagang agar harga tetap memberi keuntungan tinggi memberikan alasan lain bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda melumpuhkan kekuatan laut bangsa Indonesia. Pelabuhan besar Jayakarta yang pernah menjadi pelabuhan utama di regional Asia tenggara dan timur,sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda dan tidak lagi menjadi pelabuhan bebas bangsa Indonesia, dengan nama baru Batavia yang memberi kesan kuat bahwa wilayah itu adalah milik Hindia Belanda. Ketika Indonesia menyataan dirinya merdeka dari penjajahan kolonial Belanda, perhatian terhadap kekuatan laut belum memuaskan.Indonesia belum mampu menguasai lautnya baik yang di dalam pelayaran inter insuler mau pun dalam pelayaran internasional. Pengamanan kekayaan laut belum efektif untuk perdagangan inter insuler sementara pengembangan pengetahuan dan teknologi kelautan masih sangat belum memuaskan. Perguruan tinggi yang mengembangkan teknologi kelautan masih kalah dibandingkan jumlah perguruan tinggi yang mengembangkan teknologi lain.Sementara itu kekuatan perdagangan laut Indonesia sedemikian terbatas dan dikendalikan Singapura baik untuk eksport barang ke mancanegara mau pun untuk import.Barang-barang dagang Indonesia yang akan diekspor dan barang dagang yang diimpor Indonesia harus melalui gudang-gudang Singapura untuk pemeriksaan. Singapura menikmati posisi ini dan mampu mensejahterakan masyarakatnya. Upaya Indonesia dibawah skema Habibie untuk membangun pelabuhan bebas (free port) untuk barang dagang impor Indonesia merupakan suatu narasi yang tidak memperlihatkan keunggulan Indonesia di bidang maritim. 6 Sementara itu arah pendidikan Indonesia tidak pula memberi perhatian yang kuat untuk mengembangkan kesadaran, kepedulian, kecintaan, dan membangkitkan peran laut sebagai unsur kehidupan dominan kebangsaan. Ratusan ribu pulau yang dimiliki tidak memberikan tantangan untuk membangun kehidupan kebangsaan maritim.Oleh karena itu sudah selayaknya, arah pengembangan pendidikan ditujukan untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam membangun kembali dan mengembangkan kejayaan maritim sehingga memunculkan nilai-nilai kebaharian sebagai karakter kehidupan kebangsaan. Sejarah Indonesia adalah mata pelajaran wajib bagi seluruh siswa pendidikan menengah yaitu SMA, SMK, dan MA. Posisi penting ini memberikan kedudukan istimewa bagi mata pelajaran Sejarah Indonesia untuk mememgang posisi penting dalam pendidikan karakter bangsa dan terutama karakter yang berwarna dominan bahari. Sudah saatnya mata pelajaran Sejarah Indonesia membangun proses pendidikan yang mampu membangkitkan kesadaran, kepedulian, kecintaan, dan membangkitkan peran laut sebagai unsur kehidupan dominan kebangsaan. Materi yang tercakup dalam mata pelajaran Sejarah Indonesia memberi dasar yang kuat untuk menopang proses pembelajaran yang demikian. Oleh karena itu pengembangan proses pembelajaran Sejarah Indonesia perlu memperhatikan peran dan pesan moral bangsa tersebut.

Sejarah Maritim Indonesia memiliki tujuan yang berbeda dari pembelajaran sejarah politik disebabkan oleh warna dominan gerak kehidupan maritim bangsa Indonesia di masa lalu, kehidupan bangsa Indonesia masa kini, prospek kehidupan maritim bangsa Indonesia di masa mendatang, dan fungsi pendidikan sebagai wahana untuk membangun kehidupan generasi muda bangsa di masa mendatang. Prospek kehidupan bangsa yang diarahkan untuk membangun kejayaan kehidupan maritim bangsa menjadi arah pendidikan Sejarah Maritim Indonesia dengan materi pembelajaran berupa aktivitas kehidupan maritim bangsa Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, tujuan Pendidikan Sejarah Maritim Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Memahami karakteristik kerajaan maritim Indonesia 2. Memahami faktor-faktor pendukung kegiatan kerajaan maritim Indonesia 3. Menganalisis keterkaitan antara kekayaan agraris dengan kegiatan kemaritiman pad masa kerajaan maritim Indonesia 7 4. Menganalisis fungsi kemaritiman dalam mempersatukan bangsa Indonesia 5. Mengevaluasi perubahan dan keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia di bidang maritim 6. Mengidentifikasi nilai-nilai kemaritiman yang masih berkembang dan nilai-nilai kemaritiman yang sudah hilang dalam kehidupan bangsa masa kini. 7. Mengembangkan rasa bangga dan kecintaan pada kehidupan maritim bangsa Indonesia 8. Mampu merumuskan dan memilih alternatif program untuk meningkatkan kehidupan maritim masyarakat Indonesia.

Mempertimbangan kenyataan narasi Sejarah Maritim yang ada dan lingungan kehidupan bangsa Indonesia masa kini, pendekatan pembelajaran Sejarah Maritim perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 

1. Pembelajaran di daerah yang berada di pesisir pantai/sungai dan menjadi pewaris dari kerajaan maritim Indonesia berbeda dari pembelajaran di daerah pedalaman. Pembelajaran untuk mereka ini memperlihatkan bahwa kerajaan-kerajaan maritim 12 tersebut ada yang berskala antar wilayah dari satu pulau, antar pulau, dan internasional. Siswa yang berasal dari Jakarta, misalnya, perlu mempelajari posisi pelabuhan Jayakarta/Betawi/Jakarta sehingga sampai ke berbagai negara di Asia dan menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa untuk membangun pusat kekuasaan mereka di Jayakarta/Betawi/Jakarta. Siswa di Ternate, Makassar, dan lainnya perlu mempelajari perkembangan pelabuhan-pelabuhan tersebut sehingga terkenal sampai ke benua Eropa dan menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa untuk berkuasa.

2. Proses pembelajaran di daerah pesisir dan pewaris perlu memberi kesempatan kepada siswa untuk mempelajari narasi sejarah yang sudah tersedia dalam buku teks atau pun buku referensi, dan diperkaya dengan sumber pertama yang masih terdapat di wilayah tersebut. Mereka perlu mengenal warisan tersebut sebagai bukti dari kejayaan kemaritiman Indonesia dan memberi kesempatan untuk menggunakannya dalam merekonstruksi narasi sejarah mereka (her/his own history). 

3. Proses pembelajaran di daerah pendalaman memiliki langkah-langkah (a) memperkenalkan laut dan kemaritiman sebagai lingkungan kehidupan bangsa, (b) memperkenalkan jalur perdagangan dan barang dagangan pada masa yang dikaji © mengidentifikasi barang-barang dagangan yang berasal dari daerahnya dan yang berasal dari wilayah lain yang dibawa menyeberang laut. 

4. Seluruh siswa perlu menyadari bahwa adanya pelayaran laut antar nusa telah memperkenalkan satu kelompok budaya-sosial bangsa Indonesia dengan kelompok lainnya. Mereka telah pula berkomunikasi dalam bahasa yang saling dimengerti sehingga menghasilkan lingua franca yaitu bahasa Melayu dengan logat daerah masing-masing untuk membangun transaksi perdagangan. Siswa juga perlu menyadari bahwa penggunaan bahasa tersebut menjadi dasar bagi lahirnya bahasa nasional yang dinamakan Bahasa Indonesia. Isitilah bahasa Indonesia menjadi pilihan tepat karena menggambarkan warna baru dan bahasa baru walau pun kebanyakan kosa kata berasal bahasa Melayu.

Pandangan manusia dalam melihat laut terus mengalami perubahan sepanjang zaman, dari Romawi hingga post-modern. Marcinus, seorang ahli hukum Kerajaan Romawi pada abad ke-3 melontarkan pendapat mengenai status “laut sebagai milik bersama”. Konsekuensi logis dari status “laut sebagai milik bersama” memberi peluang bagi Romawi untuk melakukan upaya “pengendalian” terhadap Laut Tengah (Laut Mediterania). Menariknya, terminologi yang dipakai dalam pandangan ini bukanlah “penguasaan”, melainkan “pengendalian”. Hal ini bertitik tolak pada pandangan bahwa laut tidak bisa dikuasai. Selanjutnya, pada 1494, ada kecenderungan negara berbasis maritim, yakni Spanyol dan Portugis untuk memasukkan wilayah laut ke dalam pengawasannya. Situasi ini akhirnya melahirkan Treaty of Tordesillas, dinyatakan bahwa Spanyol dan Portugal membagi lautan di dunia bagi kepentingan mereka. Kesepakatan memicu perdebatan banyak negara karena dipandang dapat menganggu jalur perdagangan laut. Beragam reaksi muncul mengenai pandangan ini. Salah satunya dipelopori oleh Hugo Grotius yang menyatakan bahwa laut tidak bisa dimiliki karena bukan merupakan barang dagangan. Sementara di sisi lain, William Welwood dan John Shelden tidak sependapat sepenuhnya dengan argumentasi Grotius, meskipun keduanya sependapat terkait pandangan bahwa “laut lepas bersifat terbuka dan dapat dimanfaatkan oleh siapa pun.” Perbedaan pandangan tersebut terutama bertolak pada realitas cadangan ikan di perairan Inggris yang semakin menipis. Oleh sebab itu, Inggris merasa memiliki wewenang untuk mencegah pihak asing untuk masuk dan melakukan eksplorasi sumberdaya laut di perairannya. Selanjutnya, jika mengacu pada periodisasi gelombang peradaban manusia yang diformulasikan oleh Alvin Toffler dalam buku “The Third Wave” maka potret perubahan orientasi manusia dalam memanfaatkan sumber daya laut semakin tampak eksploitatif. Pada gelombang pertama atau era agraria (800 SM hingga 1500), manusia hanya mengandalkan energi alamiah yang tersimpan di dalam otot hewan, di dalam hutan, atau memanfaatkan energi surya matahari, angin, air, dan segala karunia alam lainnya. Fase ini seringkali dicirikan dengan adu kekuatan fisik di antara manusia. Lebih ekstrem, manusia seringkali diibaratkan sebagai serigala bagi sesamanya atau manusia sering menikam sesamanya (homo homini lupus). Tetapi, kebutuhan manusia terhadap alam sebatas untuk memenuhi kebutuhan subsisten. Pada gelombang kedua atau era industri (1500 M hingga 1970 M), era ini tidak terlepas dari pengaruh Revolusi Industri pada abad ke-18. Selain itu, juga pembukaan terusan Suez pada 17 November 1869. Pada periode yang sama, kapal uap cepat mulai menggantikan posisi kapal layar yang bergantung pada cuaca. Eksplorasi sumber daya laut maupun darat menjadi semakin terbuka. Pada gelombang ke tiga, laut mulai dipandang sebagai sarana strategis dalam memperoleh harta dan meningkatkan kesejahteraan. Eksplorasi sumber daya laut semakin intens dilakukan oleh negara dan juga kaum kapitalis. Setiap negara mengeluarkan regulasi yang memungkinkan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam. Tidak jarang, regulasi memicu munculnya wilayah tumpang tindih (overlapping) dan berujung pada konflik perbatasan internasional (international dispute). Jika dilihat dari proses historis, maka ada perubahan paradigma mengenai pengelolaan laut, semula laut berstatus milik bersama menjadi laut di bawah pengendalian negara. Perubahan ini tidak terlepas dari dinamika peta politik global pasca-Perang Dunia II yang menuntun sebagian besar negara di dunia menuju arus dekolonisasi dan pengembangan faham kebangsaan. Keadaan ini turut melahirkan negara-negara nasional yang merdeka dan berdaulat lengkap dengan batas-batas administratifnya. Akar historisnya antara lain bermula pada 1945 saat Amerika Serikat (AS) mengumumkan yurisdiksinya atas penguasaan kekayaan alam yang berada di luar wilayahnya, dalam arti yuridis dikenal dengan konsepsi landas kontinen (continental-shelf). Dalam Proklamansi Truman pada 1945, Amerika mengklaim semua kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut (sea bed) dan tanah di bawah laut (subsoil) yang berada di luar, tetapi berbatasan secara langsung dengan laut teritorial. Pengumuman Amerika kemudian menggugah negara-negara kepulauan lainnya untuk menerbitkan regulasi yang sama, tidak terkecuali Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia (RI) dalam praktik kenegaraan mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Selanjutnya, azas ‘negara kepulauan’ itu resmi diumumkan melalui “Deklarasi H. Djuanda” pada 13 Desember 1957. Batas laut teritorial Indonesia diperlebar dari semula 3 mil (4,82 km) menjadi 12 mil (19,3 km). Batas tersebut diukur dari garis pantai terluar ketika air laut surut. Salah satu perubahan penting pasca-deklarasi Djuanda adalah “segala perairan di antara dan di sekitar pulau-pulau” menjadi wilayah nasional yang memiliki akibat hukum bagi pelayaran internasional, bagian laut lepas (high seas) yang semula bebas (free) menjadi bagian integral dari wilayah nasional Indonesia. Namun demikian, deklarasi tersebut secara yuridis tetap mengakui adanya hak lintas damai (right of innocent passage) kapal-kapal asing sebagaimana telah diakomodasi dalam konsepsi archipelagic state. Gagasan dari deklarasi ini kemudian diresmikan menjadi UU №4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.

Comments